ketika dapat nasihat dari sesorang berinisial 'S.A' langsung googling , enjoy ..
*UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA DAN IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Sebagai masyarakat, orang Jawa mempunyai unggah-ungguh yang diwarisi dari zaman ke zaman. Dalam suatu pertemuan, orang berusaha menempatkan pejabat di tempat paling depan, sedangkan orang biasa atau yang tidak dikenal di tempat yang agak belakang.
Hal ini wajar, sebagaimana telah dibiasakan oleh nenek moyang. Cara semacam itu termasuk unggah-ungguh berbahasa yang merupakan bagian kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya unggah-ungguh berbahasa yang berupa pola-pola perilaku yang menyatu dalam kehidupan, yang sekaligus mengatur pergaulan, maka masyarakat mempunyai pedoman yang mantap mengenai perilaku yang dianjurkan dan yang diwajibkan. Dalam hal ini seseorang dapat merasa mempunyai kepastian mengenai sikap yang harus diambil.
Jelas bahwa unggah-ungguh berbahasa mempunyai kekuatan sosial didasarkan atas suatu wawasan yang cukup mendalam tentang kehidupan dalam bermasyarakat. Tanpa memahami adanya wawasan ini, unggah-ungguh berbahasa menjadi pedoman perilaku yang kehilangan maknanya. Dalam wawasan ini orang percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berada dalam satu tatanan tertentu hingga segala-galanya berjalan dengan tertib dan fungsional. Itulah yang disebut harmonis, demikian pula ungah-ungguh berpola perilaku dalam kehidupan di masyarakat.
Dalam keadaan normal (yang tidak niemperlihatkan adanya perubahan sosial) proses pewarisan generasi tidak menimbulkan kesulitan apa-apa karena kondisi yang diperlukan untuk pewarisan itu selalu menunjang; dan setiap warga masyarakat dari golongan muda menerimanya sebagai suatu keharusan yang wajar. Namun, dengan adanya perubahan sosial, seperti yang terjadi di negara kita sekarang im, proses pewarisan yang sekaligus merupakan pelestarian itu segera menghadapi masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul, antara lain adalah apakah dalam pembinaan kebudayaan nasional sekarang ini unggah-ungguh berbahasa itu masih perlu? Kalau masih dan perlu, mesti diseleksi apa kriterianya? Bila kriteria itu belum ada, bagaimana dan atas dasar apa kriteria itu dibuat?
Berikut ini saya sajikan gagasan mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas dengan pendekatan dari sudut sosiiolinguistik terhadap bahasa sebagai gejala masyarakat dengan mengingat bahwa pertama, bahasa merupakan cermin kebudayaan dan kedua nilai budaya Indonesia terus dibina dan dikembangkan guna memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan nasional.
B. Asumsi Dasar i
Unggah-ungguh bahasa Jawa merupakan salah satu bagian bahasa Jawa yang mencermin-kan konsep kebudayaan Jawa. Jika dibandingkan dengan bahasa di daerah lain, unggah-ungguh dalam bahasa Jawa merupakan yang paling rumit. Hal ini membuktikan bahwa betapa rumitnya kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, memahanii peranan dan mengelola kedudukan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa tidak mungkin dapat mantap tanpa melihatnya dari sudut kebudayaan Jawa itu sendiri sebab dcngan cara memandang semacam kita memandang unggah-ungguh dalam bahasa Jawa bukan sekedar peristiwa bahasa belaka melainkan lebih sebagai peristiwa kemasyarakatan
Tentu saja pandangan semacam itu mengandung keuntungan dan kerugiannya sendiri. Kerugian yang segera tampak ialah bahwa kita memandang unggah-ungguh tidak sebagai sesuatu yang terpisah, yang berdiri sendiri, sehingga kedudukan unggah-ungguh sebagai kesatuan kurang kita beri tempat sebagaimana mestinya; dan sikap ini tentu saja tidak begitu diterima oleh para ahli bahasa yang sangat akrab dsngan masalah unggah-ungguh. Namun, agar peranan unggah-ungguh dalam tata masyarakat Indonesia dapat diatur kembali, tentulah sikap tertutup harus ditinggalkan.
Keuntungan cara memandang unggah-ungguh dari sudut sosiolinguistik ialah bahwa kita dapat memahami kedudukan yang sebenarnya, Iebih-lebih dalam tata masyarakat Jawa yang sudah mengalami perubahan, yang menyebabkan banyak hal dalam unggah-ungguh’ yang mengalami perubahan pula. Hanya pertimbangan yang bijaksana dan tepat sangat diperlukan agar dapat melestarikan esensinya, bukan hanya melestarikan melainkan tidak kena.
Asumsi lain yang diperlukan ialah bahwa untuk membahas masalah unggah-ungguh dalam bahasa Jawa dan implikasinya pada masyarakat kita tidak dapat meninggalkan realilas sosial karena suku Jawa mcnjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Lebih-lebih sejak kemerdekaan 1945, yang secara ekspiisit semua suku di tanah air bertekad untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Asumsi adanya hubungan historis yang erat antara suku Jawa dan kebangsaan Indonesia ini termasuk pula adanya kenyataan perubahan sosial yang bersamaan terjadinya, yaitu lunturnya suasana feodalisme yang melanda masyarakat suku Jawa. Bahkan, di daerah Surakarta pernah terjadi semacam revolusi sosial tempat kaum komunis merebut kekuasaan pemerintah daerah. Bekas-bekas kekuatan kerakyatan semacam itu masih terasa pengaruhnya pada sikap kemasyarakatan di daerah itu. Namun, betapa pun kuatnya pengaruh aspirasi kebangsaan sebagai unsur pembaruan, kita masih percaya bahwa perubahan itu tidak menyentuh bagian esensial kebudayaan Jiwa itu sendiri sebab bagaimana pun proses perubahan kebudayaan yang sedang berlangsung akan diteniukan oleh kemampuan-kemampuan dalam sistem budaya itu sendiri sebagai respon dan penyesuaian diri yang mandiri diteorikan oleh Pitirin A Sorokin (“The Prin of Immanent Change,” dalam Selo Sumard Setangkai Bunga Sosiologi, Lemb. Pen. Fa Ekonomi UI, Jakarta 1964: 515–536).
Selanjutnya, sebagai asumsi terakhir peerlu dikemukakan bahwa berlakunya bahasa Indonesia untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia mempercepat proses erosi baru daerah, khususnya unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Paling tidak kebiasaan berbicara tanpa unggah-ungguh seperti dalam bahasa Indonesia membawa pengaruh terhadap kebiasaan ber-unggah-ungguh dalam bahasa Jawa, terutama pada generasi mudanya. Dengan adanya kenyataan ini, salah satu sikap masyarakat Jawa sebagaimana termanifestasikan dalam unggah-unguh dihadapkan pada pertanyaan apakah masih harus dilestarikan atau tidak. Dalam hal ini para pengelola bahasa Jawa perlu menentukan mana yang esensial dilestarikan. Lebih-lebih mengingat bahwa proses ke arah terbentuknya kebudayaan nasional merupakan suatu conditio sine qua non bagi berlangsungnya kemasyarakatan Jawa.
C. Hipotesis
Untuk memberikan pengarahan dalam tulisan ini ada beberapa hipotesis yang seyogyanya mendapat perhatian.
- Berkenaan dengan adanya erosi kebudaya khususnya dalam hal unggah-ungguh, maka erosi itu akan tetap berlangsung sampai temukan esensi unggah-ungguh itu sendiri.
- Karena tidak menghayati esensi budaya unggah-ungguh itu, generasi muda cenderung untuk tidak menghiraukannya, bahkan merasakannya sebagai beban pergaulan formal.
- Mempertahankan unggah-ungguh tanpa menghayati esensi budaya yang melatarbelakanginya akan menimbulkan sikap sinis dan reaksioner dari kalangan generasi muda sebab aspirasi kemerdekaan dengan kesederajatan tingkat lebih menarik daripada pengabdian yang menjadi salah satu indikator esensi budaya di balik unggah-unggiuh.
- Dalam proses erosi kebudayaan sistem kemasyarakatan itu sendiri akan menemukan penyesuaiannya tanpa kehilangan bagian yang esensial meskipun proses itu dapat berlangsung menurut bandul jam, yang pada satu saat seakan-akan erosi itu akan menghanyutkan segala-galanya, tetapi ternyata sebentar lagi akan berbalik secara kuat. Hal demikian biasanya terjadi karena sesungguhnya erosi hanya berlangsung pada segolongan masyarakat tertentu dan sementara itu ada golongan-golongan yang masih mempertahankan sungguh-sungguh bersama dengan esensi yang melatarbelakanginya.
- Dalam tata masyarakat Indonesia esensi budaya yang menjiwai unggah-ungguh dalam bahasa Jawa tetap akan bertahan meskipun harus mengalami bermacam-macam transformasi ke dalam bahasa Indonesia ataupun ke dalam bahasa Jawa itu sendiri.
- Masyarakat Jawa sendiri akan mengalami kegelisahan eksistensial bila harus meninggalkan esensi budaya yang menjiwai unggah-ungguh dalam bahasanya sebab dalam bahasa Jawa unggah-ungguh bukan sekedar gejala bahasa yang bernilai komunikatif melainkan sekaligus merupakan manifestasi dan sikap budaya suku Jawa,. yang respon seseorang terhadap orang-orang di sekelilingnya tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan wawasan dunia, yang (wel-tanschaung) memperlihatkan bahwa mikro-kosmos dan makrokosmos merupakan kesatu-an yang harmonis dalam tatanan tertentu.
.